Filosofi Cracking Software
Kalau kalian pernah melakukan cracking software pasti akrab sama yang namanya program dissassembler Win32dasm, or debugger Olydbg/softice Win API, sampai Ultra Edit32, Hiew, etc. Tools tersebut digunakan untuk meng-crack software, demi untuk menciptakan sesuatu yang beda!!! Dari patching, serial fishing alias hunting serial number, sampai bikin KeyGens. Suatu proses yang menantang, kalau kata filsuf ‘menjelajahi ruang dan waktu untuk menemukan solusi kehidupan.’
Sebelum berfilosofi diwilayah cracking software, sekedar ngingetin, kalau dulu biasanya nge-crack software mungkin hanya membutuhkan waktu 5 smpai 30 menit, tapi sekarang? Hmm kelihatannya programmer makin cerdas berstrategi dalam karya-karyanya ya. Sebagai contoh, berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk nemuin perintah-perintah ‘registrasi’? Istilah-istilah seperti registrasi error, incomplete or incorrect information, or bla..bla…bla… hari ini gk seutuhnya tercetak ‘percis’ alias seperti yang muncul di nag-screen begitu code-code badan software ditrace di dissassembler kamu. Mau jump sana jump sini, push sana push sini, break sana break sini, patch sana patch sini mesti sukses melewati proses panjang terlebih dulu karena perintah-perintah registrasi tersebut diproteksi dengan sempurna sama empunya alias susah dikenali or istilahnya ‘a key based protection’ salah-salah nyampelah di ‘file invalid’ alias gagal sudah karena usaha anda telah di ‘cut-down.’ Kalaupun gk nemu option itu, tetep waktu mengdissassembler software abis ditahapan awal, misalnya karena software gk punya opsi registrasi, kalau kata pemain bola ‘kerja-keras di 15 menit pertama untuk membobol pertahanan lawan.’
Saya gak akan ngebahas lebih jauh tentang proses dissassembler softwarenya sendiri, karena kawan-kawan pasti lebih tahu.Selanjutnya kita bermain-main dengan filosofi dari motif cracking software.
Dalam salahsatu tutorial cracking yang ditulis mahasiswa asing, dia ngungkapin ‘saya melakukan cracking software karena ilham mimpi, menjelajahi dunia dan tertantang menakhlukannya.’ Aneh ya kedengarannya. Ceritanya bergini, para cracker (atau pun hacker) adalah orang-orang yang senang berkelana, masuk kewilayah-wilayah yang belum pernah terjamah, mengebiri ratusan dan ribuan kode dalam bahasa pemprogaman. Prinsip mereka ‘semakin sulit software di dissassembler atau semakin susah sistem komputer satu web diakses, semakin memuncak lah adrenalin mereka untuk menaklukannya.’ Jadi salah satu motif cracking atau hacking adalah ‘kesenangan menemukan tantangan.’
Kalau kata Descartes bapak filsafat pencerahan ‘cogito ergo sum’ artinya ‘karena berfikir saya ada’, nah kalau waktu nge-crack otak gak dikuras abis sampe pusing tujuh-keliling jangan pernah berfikir bahwa kalian sukses ‘eksis’ sebagai si ahli komputer. Kalau dalam politik, make otak gagal saatnya make otot, tapi kalau dalam teknologi komputer, make otot buat apa? Otak adalah ‘perangkat’ utama dalam proses cracking software, bahwa si cracker dituntut untuk berfikir filosofis, ‘menemukan sesuatu yang sifatnya dasar atau fundamental (namun kadang terhidden dan memerlukan perhitungan yang matang).’ Ciri seorang filsuf adalah menemukan suatu ‘esensi’ terpendam yang ada dalam kehidupan tapi belum tersentuh manusia. "To boldly go where no one has gone before."
Motif kedua erat kaitannya dengan ‘prinsip distribusi’ (distribution) bahwa karya-karya bermanfaat tersebut seharusnya dapat dinikmati setiap pengguna komputer atau khususnya mereka yang membutuhkan. Para cracker software seneng banget kalau tutorialnya berguna buat orang lain dan kalau software-software yang didissassemblernya disebar ke kalangan maya, nginfoin serial number or bagi-bagi Keygens, macem ‘berbuat baik untuk mendapat pahala’ J Gak jarang dari mereka yang nawarin diri untuk bantuin ngecrack software (thanks buat yg satu ini). Nah kalau diskusi sama kawan politik or hukum, mereka pasti pernah nyebut John Rawls, filsuf modern yang juga pemikir politik-hukum yang terkenal dengan prinsip ‘distribusi keadilan’ (distribution of justice). Nah buat mereka yang terlibat dalam cracking software, prinsip distribusi adalah apa yang disebut ‘fair’ (adil) dalam dunia maya, kalau dapet bocoran software yang dibebaskan orang lain maka harus memberi keadilan untuk orang lain dengan juga membebaskan software dan mendistribusikannya.
Motif ketiga mereka yang ‘melek politik-paham ekonomi’ bakal bilang ‘software-software tersebut seharusnya dapat dimanfaatin setiap orang tanpa harus membayar mahal.’ Bayangin kalau file-recover (saya smpet mo beli sebelum ktmu kawan baik hati) harganya 150 dollar, bisa buat beli memori dan hard disk baru. Suatu nafas anti-kapitalis, anti hegemoni dan eksploitasi korporasi, mengutamakan solidaritas, satu prinsip bahwa manusia sesungguhnya bebas namun terikat. Bebas berkarya, bebas merubah satu karya namun terikat oleh lingkungan dimana ia tinggal, kalau mengutip Rousseau sang fisuf politik “man was born free and he is everywhere in chains.”
Motif terakhir, untuk tujuan pendidikan.
Ekonomi-Politik
Nah sekarang saatnya mengkritisi motif cracking No.3. Langsung saja, kalau dalam kajian ekonomi-politik ada yang namanya ‘intangible assets’ (hal-hal berharga yang tidak dapat diraba) yang bikin software jadi mahal. Bahwa sesuatu yang lahir dari knowledge or skills sangat bernilai atau apa yang disebut dengan ‘the value of information.’ Karena begitu berharganya ‘karya cipta’ tersebut si programmer yang kekeh sama prinsip ‘fundamental paradox of information’ gak akan secara gampang ngejual karya ciptanya ke perusahaan, simple karena dia gak mau softwarenya dimonopoli sama satu korporasi tertentu. Tapi ada juga programmer yang otaknya ‘uang’ aja, berstrategi supaya karya ciptanya bisa menghasilkan profit, karenanya informasi sangat mahal dan berfikir dua kali untuk menyerahkannya ke korporat. Kalau programmer kasih software tapi gk kasih informasi gimana cara buat softwarenya, gimana perusahaan mau deal? Nah untuk mengakomodasi hal tersebut alhasil terbentuklah apa yang namanya ‘Firms’ horizontal integration’ dimana satu software dihandle (diproduksi dan didistribusi) sama lebih dari satu perusahaan untuk menjamin tidak adanya monopoli. Tapi gimanapun juga karena perusahaan pastinya berorientasi profit, jadilah software-software tersebut terjual mahal karena mempertimbangkan profit untuk lebih dari satu perusahaan.
Jadi kalau RMS sejak lama berteriak soal open sources dan kemerdekaan software, ini persoalannya. Untuk menjawab ‘luka batin’ para programmer kalau perusahaan-perusahaan berorientasi profit tersebut bakal memonopoli produk. Kenyataannya sama juga kan, tidak dimonopoli pun melibatkan banyak perusahaan, jatuhnya mahal-mahal juga. Ya itulah ekonomi-politik, makanya lumrah kalau aksi-aksi hacking or cracking berangkat dari mereka yang menentang monopoli korporat atas satu karya cipta, itulah politik. Sekali lagi programmer kadang lebih politis dari politisi itu sendiri. Yang juga mungkin bisa bikin kalian buka mata, pernah denger politisasi anti-virus, kalau virus-virus komputer yang beredar sesungguhnya diciptakan oleh para perusahaan pembuat anti-virus. Kalau masalah tidak diciptakan, maka tidak ada pasar, alias kalau gk ada virus siapa yang mau beli anti-virus… J
Sampai sini dapat pointnya?
Saya cuma mau ngajak kawan-kawan bermain-main sedikit dengan filsafat dan ekonomi-politik dalam kaitannya dengan pembangunan teknologi (komputer), jadi kita bisa melihat segala sesuatunya dari berbagai sudut pandang.
Memahami filosofi dalam berkomputer-ria adalah bahwa dalam melakukan suatu aksi kita selalu dilandasi oleh sebuah pandangan atau alasan ‘kenapa sampai berbuat hacking or cracking’ gk sebatas iseng, just for fun, keuntungan pribadi atau nguji kesabaran orang lain. Kalau bermaksud menguji kemampuan pribadi, jangan pernah lupa kalau kalian hidup ditengah2 masyarakat yang berbeda kepribadian.
Artikel ini tidak menganjurkan atau melegalkan ‘cracking’ terhadap software-software komputer, karena sesungguhnya software adalah ‘produk intelektual’ programmer yang mesti dihargai, hanya saja dihakciptakan perusahaan ‘yang memproduksi dan mendistribusikan.’ Sekarang balik lagi ke urusan manusia dan filosofi aksi-aksi mereka. Apa bener kalau yang bikin software itu alias si programmer sepakat ciptaannya di jual mahal ke publik? Balik lagi deh nanya ke si programmer, mereka bakal jawab ‘programmer juga manusia.’ J Kalau nanya ke produser or distributornya mereka juga bakalan jawab ‘pasar perlu produk sementara produser perlu modal, hasilnya sama-sama mendapat profit.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar